Latest News

Senyuman Terindah

Senyum Terindah
 
 
Aku menemukan senyum itu di salah satu pojok taman kota. Tercecer diantara daun-daun kering yang meluruh, diantara wajah-wajah bersinar yang hilir mudik mengunjungi surau tua di pojok taman, dan terpatri pada seraut wajah dengan kerut yang melorot pada kedua pipinya, tubuh renta bungkuk serta rambut bergelung yang seluruhnya memutih.
 
Sebenarnya, setiap manusia, yang masih hidup tentunya, dengan gampang dapat menciptakan sebuah senyuman. Tinggal mengangkat sisi-sisi pada kedua sudut bibirnya, jadilah sebuah senyum. Dan bersedekahlah kita melalui senyuman. Begitu kata Pak Ustad di kampungku dulu. Tapi anehnya tak semua manusia berhasil menciptakan senyum yang indah meskipun menggunakan rumus yang sama. Hasilnya bisa
bermacam-macam. Bisa senyum hambar, senyum masam, senyum getir bahkan tak jarang terlihat seperti
menyeringai yang justru menakutkan.
 
Sepanjang hidupku tak pernah kutemukan senyum seindah ini. Menurutku, senyum yang kutemukan kali ini lebih manis dari senyumnya para artis berbaju minim yang dielu-elukan pemujanya. Atau, lebih menjerat daripada senyum para pejabat, yang pura-pura tersenyum padahal sesungguhnya menyeringai, menyembunyikan taring-taring tajamnya yang sewaktu-waktu siap menerkam jelata sepertiku . 
 
Beberapa teman senasib dan seperjuanganku disini yang merintis karir sebagai tukang sapu taman, selalu mengatakan bahwa aku gila. 
 
Kamu itu gila Min, senyum nenek-nenek ompong gitu kamu bilang indah.
 
Si Parmin itu kelainan. Gandrung kok sama senyum orang yang sudah bau tanah.
 
Nah, kalau ini baru indah! Lihat Min! Buka matamu! Haha...ha... 
 
Aku hanya mengeryitkan kening mendengar komentar teman-temanku itu. Tarjo menyorongkan majalah bergambar wanita-wanita tak berbaju kearahku. Sekilas kulirik senyum wanita-wanita seronok itu. Tetap saja tak indah dimataku. Sebuah senyum mesum. Bukan senyum yang indah penuh ketulusan dan kejernihan hati seperti senyum wanita tua itu.
 
-****-
 
 
Udara Jakarta semakin menggerahkan. Sebagai kaum urban, tak banyak yang kuharapkan dari hari kehari
yang kian hampa tanpa kepastian. Mengais rupiah demi rupiah untuk mengisi perut. Masih beruntung bisa makan setiap harinya. Toh, gajiku sebagai tukang sapu taman tak mungkin kutabung untuk membeli mobil mewah atau rumah di Pondok Indah misalnya. Ahseandainya saja sawah di kampungku tak tergusur oleh villa-villa mewah milik orang-orang bermuka licin itu, mungkin aku tak akan pernah berada disini. Berada pada pengapnya udara berpolusi. Berada pada harapan yang kian menghampa. 
 
Hanya pada wanita tua itu aku sedikit berharap. Menemukan ketulusan pada senyum indahnya. Menemukan
kedamaian pada sapanya. Dari hari ke hari aku memunguti kisah hidupnya yang penuh misteri. Bukan
hanya senyumnya yang menarik perhatianku, tapi juga kegiatan yang dilakukannya didepan surau tua itu. Setiap kali aku datang di taman ini untuk bertugas, kulihat wanita tua itu mencabuti rumput-rumput serta mengambili daun-daun kering yang mengotori halaman surau . Dan inilah yang selalu menerbitkan rasa ibaku. Kenapa orang setua dia di suruh membersihkan halaman surau tua itu? Tidakkah ada orang yang lebih muda? Yang tidak harus terbungkuk-bungkuk mengambili daun-daun kering itu?
 
Biar kubantu membersihkan, Nek, tawarku suatu pagi sambil mengayunkan sapuku di sampingnya.
 
Wanita tua itu menahan sapu yang kuayunkan sambil tersenyum indah. 
 
Tidak usah, biar Nenek saja yang melakukannya. Insya Allah kamu masih memiliki banyak waktu di banding Nenek.
 
Aku mengeryitkan kening mendengar jawabannya. Memiliki banyak waktu? Hm, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Bukankah setiap manusia memiliki waktu yang sama dalam hidupnya? 24 jam sehari semalam? Ah, entahlah, wanita tua itu memang seringkali bersikap aneh. Tapi justru itulah yang membuatku ingin mengenalnya lebih jauh.
 
-****-
 
 
Pagi ini adalah pagi keempat aku membersihkan halaman surau tua di pojok taman kota. Sebenarnya hanya rasa ibalah yang mendorongku untuk bangun lebih pagi dan mendahului wanita tua itu membersihkan halaman surau. Aku sungguh tidak tega melihatnya terbungkuk-bungkuk mencabut rumput serta mengambili daun kering di depan surau sampai berjam-jam. Apalagi kalau mendengar
nafasnya yang tersengal-sengal serasa mau putus karena kecapekan. 
 
Oh, kamu rupanya yang mendahuluiku membersihkan halaman surau ini? lirihnya seolah pada diri sendiri. 
 
Aku mengangguk sambil tersenyum bahagia bias meringankan pekerjaannya, lalu kataku Benar Nek,
mulai sekarang, aku yang membersihkan halaman surau ini. Jadi Nenek tak perlu repot-repot lagi
 
Oh, begitu suara lirihnya semakin melemah. Di luar dugaanku, wajahnya berubah menjadi sangat bersedih. Air mata berdesakan di sudut matanya. Dan senyum indahnya hilang entah kemana.
 
Terimakasih atas kebaikanmu, katanya sambil berjalan tertatih-tatih meninggalkanku. 
 
Aku hanya tertegun menatap langkah-langkahnya yang kian menjauh. Ingin aku mencegah kepergiannya, namun kata-kataku tertahan di kerongkongan. Kesedihan di matanya telah menyudutkan aku pada ribuan tanda tanya. 
 
Sejak kejadian itu, dia menghilang dari halaman surau tua dan lenyap seolah di telan bumi. Berminggu-minggu aku berusaha mencarinya. Menanyakan pada setiap penjual kaki lima serta gelandangan yang berdiam di sekitar taman . Namun tak satupun mengetahui kepergiannya. Meski aku tak tahu penyebab kepergian wanita tua itu, perasaan bersalah seringkali menyergapku. Aku telah kehilangan harapan dalam senyum indah dan tulus itu.
 
Sampai kemudian, suatu siang seusai shalat Jum,at di masjid besar pusat kota, aku menemukan wanita tua itu sedang mencabuti rumput serta mengambili daun-daun kering di halaman masjid. Tubuh bungkuknya tertatih-tatih mengumpulkan daun-daun kering yang meluruh dari pohon besar di halaman Masjid. Keringat mengalir deras dari kedua pelipisnya. Namun dia terus mencambut rumput serta mengambil daun-daun kering itu seolah tak kenal lelah dan tak perduli garang matahari yang membakar kulit keriputnya.
 
Assalamualaikum, Nek? sapaku hati-hati.
 
Wanita tua itu terkejut karena keasyikannya mencabuti rumput serta mengumpulkan daun-daun kering terusik oleh sapaanku. Dipandangi wajahku sejenak, lalu dia tersenyum. Senyum indah itu kembali hadir, setelah sekian lama aku kehilangannya.
 
Waalaikumsalam, oh, kamu?
 
Aku mengangguk senang. Rupanya dia belum melupakanku. Dia mengipas-ngipaskan daun kering yang baru saja diambilnya ke tubuhnya yang berpeluh.
 
Mengapa Nenek tiba-tiba pergi? tanyaku tiba-tiba.
 
Maafkan Nenek kalau kepergian Nenek membuatmu bingung, katanya kemudian, tangannya menepuk-nepuk
pundakku.  Karena halaman surau itu telah kau bersihkan setiap paginya, maka Nenek lebih baik pergi
 
Kenapa begitu? Aku cuma ingin membantu Nenek, Nenek sudah terlalu tua untuk membersihkan halaman surau itu setiap hari, potongku tak sabar.
 
Wanita tua itu diam tak menjawab. Bibirnya masih menyungging senyum. Lalu dengan tertatih dia berteduh dan duduk di akar pohon yang tumbuh menjulang di pelataran masjid besar itu. Aku mengikuti langkahnya dan duduk di sampingnya.
 
Nenek dilahirkan dan di besarkan di tempat sampah sebagai gelandangan. Tapi Nenek tak ingin seperti
sampah di hadapan Allah. Usia nenek di dunia ini mungkin tak lama lagi. Dengan membersihkan halaman
rumah Allah itu nenek berharap kelak di hari pembalasan Allah mengijinkan Nenek memasuki rumah-Nya
yang indah. Karena itu Nenek sangat bersedih ketika daun-daun itu kau sapu sebelum Nenek datang. Nenek merasa kehilangan satu kesempatan
 
Aku tertegun mendengar penjelasan wanita tua itu. Banyak hal berkecamuk di kepalaku. Sungguh tak
menyangka karena alasan itu dia mengambili daun kering serta bersedih ketika pekerjaannya kubereskan. Dia tak jauh berbeda denganku, hidup sebagai gelandangan. Tapi dia lebih bisa menghargai waktunya dibanding aku yang selalu menyesali kehidupan ini. Rasa malu menyergapku saat wanita tua itu kembali berjalan tertatih meninggalkanku dan kembali pada pekerjaannya.
 
Perlahan aku beranjak meninggalkan halaman masjid. Dari kejauhan tampak wanita tua itu melambaikan
tangannya sambil tersenyum padaku. Senyum terindah yang ingin kukenang sepanjang hidupku.
 
Aku tak ingin menjadi sampah di hadapan Allah … terngiang ucapannya beberapa menit yang lalu.
 
Aku juga Nek bisikku lirih, ada tetesan embun membasahi dinding-dinding kalbuku. Menyejukkan.
Mahabesar Allah, yang selalu memberi peringatan di kala lalai dan memberikan kesempatan pada
hamba-hambanya untuk selalu memperbaiki diri. 
 
Oleh: Rye 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hargai tulisan ini dengan meninggalkan jejak... ^_^

UKMI-JNI (Merajut Ukhuwah Menuju Satu Jama'ah) Designed by Templateism.com Copyright © UKMI-JNI (Merajut Ukhuwah Menuju Satu Jama'ah). All rights reserved.

Diberdayakan oleh Blogger.