Masjid adalah rumah Allah yang berada di atas bumi. Memiliki kedudukan yang agung di mata kaum muslimin karena menjadi tempat bersatunya mereka ketika shalat berjamaah dan kegiatan beribadah lainnya. Umat Islam senantiasa akan mulia manakala kembali memakmurkan masjid seperti halnya generasi salaf dahulu.
Masjid
adalah rumah Allah yang berada di atas bumi. Memiliki kedudukan yang
agung di mata kaum muslimin karena menjadi tempat bersatunya mereka
ketika shalat berjamaah dan kegiatan beribadah lainnya. Umat Islam
senantiasa akan mulia manakala kembali memakmurkan masjid seperti halnya
generasi salaf dahulu.
Sebagai rumah dari rumah-rumah Allah Ta’ala yang mempunyai peranan vital, ada beberapa etika yang telah digariskan oleh Islam ketika berada di dalamnya. Antara lain :
1. Mengikhlaskan Niat Kepada Allah Ta’ala
Hendaknya seseorang yang ingin ke masjid mengikhlaskan niatnya sehingga Allah Ta’ala
menerima ibadah yang ia lakukan di masjid. Hendaknya ia mendatangi
masjid untuk menunaikan tugas seorang hamba yaitu beribadah kepada Allah
Ta’ala tanpa dilandasi rasa ingin dipuji manusia atau ingin
dilihat oleh masyarakat. Karena sesungguhnya setiap amalan itu
tergantung dari niatnya.
2. Berpakaian Indah Ketika Hendak Menuju Masjid
Sebagaimana perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid” [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “dalam
ayat ini, Allah tidak hanya memerintahkan hambanya untuk menutup aurat,
akan tetapi mereka diperintahkan pula untuk memakai perhiasan. Oleh
karena itu hendaklah mereka memakai pakaian yang paling bagus ketika
shalat” [2].
Dan dijelaskan dalam kitab tafsir karangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah,
“berlandaskan ayat ini dan ayat yang semisalnya disunahkan berhias
ketika akan shalat, lebih-lebih ketika hari Jumat dan hari raya.
Termasuk perhiasan yaitu siwak dan parfum” [3].
3. Menghindari Makanan Tidak Sedap Baunya
Maksudnya adalah larangan bagi seseorang yang makan makanan yang
tidak sedap baunya, seperti mengonsumsi makanan yang menyebabkan mulut
berbau, seperti bawang putih, bawang merah, jengkol, pete, dan termasuk
juga merokok atau yang lainnya untuk menghadiri shalat jamaah,
berdasarkan hadis,
Dari Jabir radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barang
siapa yang memakan dari tanaman ini (sejenis bawang dan semisalnya),
maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena sesungguhnya malaikat terganggu dengan bau tersebut, sebagaimana manusia”[4].
Juga hadis Jabir, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْبَصَلاً فًلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فيِ بَيْتِهِ
“Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah maka hendaklah menjauhi kita”, atau bersabda, “Maka hendaklah dia menjauhi masjid kami dan hendaklah dia duduk di rumahnya”[5].
Hadis tersebut bisa dibawa ke persamaan kepada segala sesuatu yang
berbau tidak sedap yang bisa menganggu orang yang sedang shalat atau
yang sedang beribadah lainnya. Namun jika seseorang sebelum ke masjid
memakai sesuatu yang bisa mencegah bau yang tidak sedap tersebut dari
dirinya seperti memakai pasta gigi dan lainnya, maka tidak ada larangan
baginya setelah itu untuk menghadiri masjid.
4. Bersegera Menuju Rumah Allah Ta’ala
Bersegera menuju masjid merupakan salah satu ciri dari semangat
seorang muslim untuk melakukan ibadah. Jika waktu shalat telah tiba,
hendaklah kita bersegera menuju masjid karena di dalamnya terdapat
ganjaran yang amat besar, berdasarkan hadis:
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Seandainya
manusia mengetahui keutamaan shaf pertama, dan tidaklah mereka bisa
mendapatinya kecuali dengan berundi niscaya mereka akan berundi. Dan
seandainya mereka mengetahui keutamaan bersegera menuju masjid niscaya
mereka akan berlomba-lomba”[6].
Jangan sampai kita menyepelekan dan menunda-nunda waktu untuk
sesegera mungkin menuju masjid. Hendaknya selalu bersemangat dalam
menghidupkan masjid dan mengisinya dengan amalan-amalan ibadah lainnya.
5. Berjalan Menuju Masjid Dengan Tenang dan Sopan
Hendaknya berjalan menuju shalat dengan khusyuk, tenang, dan tentram. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang umatnya berjalan menuju shalat secara tergesa-gesa walaupun shalat sudah didirikan. Abu Qatadah radhiallahu’anhu berkata, “Saat kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, tiba-tiba beliau mendengar suara kegaduhan beberapa orang. Sesudah menunaikan shalat beliau mengingatkan,
مَا شَأْنُكُم؟ قَالُوْا:
اِسْتَعْجَلْنَا إِلىَ الصَّلاَةِ. فَقَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوْا, إِذَا
أَتَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَعَلَيْكُمْ بِاالسَّكِيْنَةِ فَمَا
أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Apa yang terjadi pada kalian?” Mereka menjawab, “Kami
tergesa-gesa menuju shalat.” Rasulullah menegur mereka, “Janganlah
kalian lakukan hal itu. Apabila kalian mendatangi shalat maka hendaklah
berjalan dengan tenang, dan rakaat yang kalian dapatkan shalatlah dan
rakaat yang terlewat sempurnakanlah”[7]
6. Adab Bagi Wanita [8]
Tidak terlarang bagi seorang wanita untuk pergi ke masjid. Namun
rumah-rumah mereka lebih baik Jika seorang wanita hendak pergi ke
masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu diperhatikan:
- Meminta izin kepada suami atau mahramnya
- Tidak menimbulkan fitnah
- Menutup aurat secara lengkap
- Tidak berhias dan memakai parfum
Perbuatan kaum wanita yang memakai parfum hingga tercium baunya dapat menimbulkan fitnah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Siapa
saja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian keluiar menuju masjid,
maka tidak akan diterima shalatnya sehingga ia mandi” [9]
Abu Musa radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً
“Setiap mata berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi
lalu lewat di sebuah majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang
begini, begini, yaitu seorang wanita pezina”[10].
7. Ketika Masuk Masjid Berdoa dan Mendahulukan Kaki Kanan
Hendaklah orang yang keluar dari rumahnya membaca doa,
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
“Dengan menyebut nama Allah aku bertawakal kepada-Nya, tidak ada daya dan upaya selain dari Allah semata”[11].
Kemudian ketika berjalan menuju masjid hendaklah berdoa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي
نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا
وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي
نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
“Yaa Allah… berilah cahaya di hatiku, di penglihatanku dan di
pendengaranku, berilah cahaya di sisi kananku dan di sisi kiriku,
berilah cahaya di atasku, di bawahku, di depanku dan di belakangku, Yaa
Allah berilah aku cahaya”[12].
8. Shalat Tahiyatul Masjid
Di antara adab ketika memasuki masjid adalah melaksanakan shalat dua
rakaat sebelum duduk. Shalat ini diistilahkan para ulama dengan shalat
tahiyatul masjid. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِ
“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk” [13]
Yang dimaksud dengan tahiyatul masjid adalah shalat dua rakaat
sebelum duduk di dalam masjid. Tujuan ini sudah tercapai dengan shalat
apa saja yang dikerjakan sebelum duduk. Oleh karena itu, shalat sunnah
wudhu, shalat sunnah rawatib, bahkan shalat wajib, semuanya merupakan
tahiyatul masjid jika dikerjakan sebelum duduk. Merupakan suatu hal yang
keliru jika tahiyatul masjid diniatkan tersendiri, karena pada
hakikatnya tidak ada dalam hadis ada shalat yang namanya ‘tahiyatul
masjid’. Akan tetapi ini hanyalah penamaan ulama untuk shalat dua rakaat
sebelum duduk. Karenanya jika seorang masuk masjid setelah adzan lalu
shalat qabliah atau sunah wudhu, maka itulah tahiyatul masjid baginya.
Syariat ini berlaku untuk laki-laki maupun wanita. Hanya saja para ulama
mengecualikan darinya khatib jumat, di mana tidak ada satupun dalil
yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat
tahiyatul masjid sebelum khutbah. Akan tetapi beliau datang dan langsung
naik ke mimbar. Syariat ini juga berlaku untuk semua masjid, termasuk
masjidil haram. Tahiyatul masjid disyariatkan pada setiap waktu
seseorang itu masuk masjid dan ingin duduk di dalamnya. Termasuk di
dalamnya waktu-waktu yang terlarang untuk shalat, menurut sebagian
pendapat kalangan ulama[14].
9. Mengagungkan Masjid
Bentuk pengagungan terhadap masjid berupa hendaknya seseorang tidak
bersuara dengan suara yang tinggi, bermain-main, duduk dengan tidak
sopan, atau meremehkan masjid. Hendaknya juga ia tidak duduk kecuali
sudah dalam keadaan berwudhu untuk mengagungkan rumah Allah Ta’ala dan syariat-syariat-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” [15].
10. Menuggu Ditegakkannya Shalat Dengan Berdoa Dan Berdzikir
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Setelah shalat dua
rakaat hendaknya orang yang shalat untuk duduk menghadap kiblat dengan
menyibukkan diri berdzikir kepada Allah, berdoa, membaca Alquran, atau
diam dan janganlah ia membicarakan masalah duniawi belaka”[16].
Terdapat keutamaan yang besar bagi seorang yang duduk di masjid untuk menunggu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ
كَانَ فيِ الصَّلاَةِ مَاكَانَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ واْلمَلاَئِكَةُ
يُصَلُّوْنَ عَلىَ أَحَدِكُمْ مَادَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلىَّ
فِيْهِ يَقُوْلُوْنَ: اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ الّلهُمَّ اغْفِرْ لَهُ مَا
لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ
“Apabila seseorang memasuki masjid, maka dia dihitung berada
dalam shalat selama shalat tersebut yang menahannya (di dalam masjid),
dan para malaikat berdoa kepada salah seorang di antara kalian selama
dia berada pada tempat shalatnya, Mereka mengatakan, “Ya Allah,
curahkanlah rahmat kepadanya, ya Allah ampunilah dirinya selama dia
tidak menyakiti orang lain dan tidak berhadats”[17].
11. Mengaitkan Hati Dengan Masjid [18]
Berusaha untuk selalu mengaitkan hati dengan masjid dengan berusaha
mendatangi ke masjid sebelum shalat, menunggu shalat dengan berdzikir
dan beribadah, dan tidak buru-buru beranjak. Dan keutamaan inilah yang
akan dinaungi oleh Allah Ta’ala ketika nanti tiada naungan selain naungan-Nya. Sebagaimana dalam hadis, “Tujuh
jenis orang yang Allah Ta’ala akan menaungi mereka pada hari tiada
naungan kecuali naungan-Nya… dan laki-laki yang hatinya selalu terkait
dengan masjid)”19
12. Anjuran Untuk Berpindah Tempat Ketika Merasa Ngantuk
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “Jika
salah seorang di antara kalian mengantuk, saat berada di masjid, maka
hendaknya ia berpindah dari tempat duduknya ke tempat lain”[20].
13. Anjuran Membuat Pintu Khusus untuk Wanita [21]
Dianjurkan untuk membuat pintu khusus bagi wanita untuk menjaga agar
mereka tidak bercampur baur dengan kaum pria. Karena akibat dari campur
baurnya laki-laki dan perempuan amatlah besar. Dan keburukan seperti ini
akan lebih berbahaya kalau dilakukan di rumah Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membimbing para shahabatnya dengan seraya bersabda, “Alangkah baiknya jika kita biarkan pintu ini untuk kaum wanita” [22].
14. Dibolehkan Untuk Tidur Di Masjid
Dibolehkan tidur di dalam masjid bagi orang yang membutuhkannya,
semisal orang yang kemalaman atau yang tidak punya sanak famili dan
lainnya. Dahulu para sahabat Ahli Suffah (orang yang tidak punya tempat tinggal), mereka tidur di dalam masjid[23].
AI-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan bahwa bolehnya tidur di dalam masjid
adalah pendapat jumhur ulama[24]. Dan dibolehkan juga tidur dengan
terlentang. Berdasarkan riwayat:
Dari Abbad Bin Tamim dari pamannya bahwasanya dia melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidur terlentang di dalam masjid dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang lain [25].
AI-Khattabi berkata, “Hadis ini menunjukkan bolehnya bersandar, tiduran dan segala bentuk istirahat di dalam masjid”[26].
15. Boleh Memakai Sandal Di Masjid
Berkata Imam At-Thahawi, “Telah datang atsar-atsar yang mutawatir
tentang shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memakai sandal
di dalam masjid”[27].
Berdasarkan hadis dari Sa’id Bin Yazid, bahwasanya dia bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat memakai kedua sandalnya?” Anas menjawab: “Ya”[28].
Imam Nawawi berkata, “Hadis ini menunjukkan bolehnya shalat memakai sandal selama tidak terkena najis”[29].
16. Boleh Makan Dan Minum Di Masjid
Makan dan minum di dalam masjid dibolehkan asal tidak mengotori masjidnya. Berdasarkan hadis dari Abdullah bin Harits radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kami makan daging bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam masjid”[30].
17. Boleh Membawa Anak Kecil Ke Masjid
Dari Abu Qotadah radhiallahu’anhu dia berkata, “Suatu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
keluar (untuk shalat-pent) dengan menggendong Umamah Binti Abil ‘Ash,
kemudian beliau shalat. Apabila rukuk beliau menurunkannya, dan apabila
bangkit beliau menggendongnya kembali”[31].
Imam Al-’Aini rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bolehnya membawa anak kecil kedalam masjid”[32].
Adapun hadits yang berbunyi, “Jauhkanlah anak-anak kalian dari masjid,” adalah hadits yang dhaif (lemah), didaifkan oleh Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu Jauzi, AI-Mundziri, dan lainnya [33].
Adapun hadits yang berbunyi, “Jauhkanlah anak-anak kalian dari masjid,” adalah hadits yang dhaif (lemah), didaifkan oleh Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu Jauzi, AI-Mundziri, dan lainnya [33].
18. Menjaga dari Ucapan yang Jorok dan Tidak Layak di Masjid
Tempat yang suci tentu tidak pantas kecuali untuk ucapan-ucapan yang
suci dan terpuji pula. Oleh karena itu, tidak boleh bertengkar,
berteriak-teriak, melantunkan syair yang tidak baik di masjid, dan yang
semisalnya. Demikian pula dilarang berjual beli di dalam masjid dan
mengumumkan barang yang hilang. Nabi bersabda (yang artinya), “Apabila
kamu melihat orang menjual atau membeli di masjid maka katakanlah,
‘Semoga Allah tidak memberi keberuntungan dalam jual belimu!’ Dan
apabila kamu melihat ada orang yang mengeraskan suara di dalam masjid
untuk mencari barang yang hilang, katakanlah, ‘Semoga Allah tidak
mengembalikannya kepadamu’. 34
19. Dilarang bermain-main di masjid selain permainan yang mengandung bentuk melatih ketangkasan dalam perang. [35]
Hal ini sebagaimana dahulu orang-orang Habasyah bermain perang-perangan di masjid dan tidak dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam [36].
20. Tidak Menjadikan Masjid Sebagai Tempat Lalu Lalang [37]
Tidak sepatutnya seorang muslim berlalu di dalam masjid untuk suatu kepentingan tanpa mengerjakan shalat dua rakaat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, ”Di
antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seorang melewati masjid namun
tidak mengerjakan shalat dua rakaat di dalamnya dan seseorang tidak
memberikan salam kecuali kepada orang yang dikenalnya)”[38].
21. Tidak menghias masjid secara berlebihan
Di antara kesalahan yang terjadi di masjid adalah menghiasi masjid
dan memahatnya secara berlebihan, berdasarkan hadis Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ فَالدَّمَارُ عَلَيْكُمْ
“Apabila kalian telah memperindah masjid kalian dan menghiasi mushaf-mushafmu maka kehancuran telah menimpa kalian”[39]. Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهىَ النَّاسُ فِي اْلمَسَاجِدِ
“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai manusia berlomba-lomba di dalam (memperindah) masjid” [40]
Dilarang berlebih-lebihan dalam menghias masjid karena hal itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “Apabila kalian telah menghiasi mushaf-mushaf kalian dan menghiasi masjid-masjid kalian, maka kehancuran akan menimpa kalian”[41]. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda, “Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah manusia berbangga-bangga dengan masjid”[42].
22. Tidak Mengambil Tempat Khusus Di Masjid
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang seorang shalat
seperti gagak mematuk, dan melarang duduk seperti duduknya binatang
buas, dan mengambil tempat di masjid seperti unta mengambil tempat duduk
[43]. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “hikmahnya adalah
karena hal tersebut bisa mendorong kepada sifat pamer, riya, dan sumah,
serta mengikat diri dengan adat dan ambisi. Demikian itu merupakan
musibah. Maka dari itu, seorang hamba harus berusaha semaksimal mungkin
agar tidak terjerumus ke dalamnya” [44].
23. Larangan Keluar Setelah Adzan Kecuali Ada Alasan
Jika kita berada di dalam masjid dan azan sudah dikumandangkan, maka
tidak boleh keluar dari masjid sampai selesai dtunaikannya shalat wajib,
kecuali jika ada uzur. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam sebuah
riwayat dari Abu as Sya’tsaa radhiallahu’anhu, beliau berkata,
كُنَّا قُعُودًا فِي
الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ
مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى
خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ
عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid. Kemudian
muazin mengumandangkan azan. Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri
kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal tersebut kemudian
beliau berkata, “Perbuatan orang tersebut termasuk bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu’alaihi Wasallam” [45].
24. Larangan Mencari Barang Yang Hilang Di Masjid Dan Mengumumkannya
Apabila didapati seseorang mengumumkan kehilangan di masjid, maka katakanlah, “Mudah-mudahan Allah tidak mengembalikannya kepadamu”. Sebagaimana sabda Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Barangsiapa
mendengar seseorang mengumumkan barang yang hilang di dalam masjid,
maka katakanlah, “Mudah-mudahan Allah tidak mengembalikannya kepadamu.
Sesungguhnya masjid-masjid tidak dibangun untuk ini”[46].
25. Larangan Jual Beli di Masjid
Jika jual beli dilakukan di masjid, maka niscaya fungsi masjid akan
berubah menjadi pasar dan tempat jual beli sehingga jatuhlah kehormatan
masjid dengan sebab itu. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “apabila
kalian melihat orang yang jual beli di dalam masjid maka katakanlah
padanya, ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam jual belimu!”[47].
Imam As-Shan’ani berkata, “Hadis ini menunjukkan haramnya jual beli
di dalam masjid, dan wajib bagi orang yang melihatnya untuk berkata
kepada penjual dan pembeli semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam
jual belimu! Sebagai peringatan kepadanya”[48].
26. Larangan Mengganggu Orang Yang Beribadah Di Masjid
Orang yang sedang menjalankan ibadah di dalam masjid membutuhkan
ketenangan sehingga dilarang mengganggu kekhusyukan mereka, baik dengan
ucapan maupun perbuatan. Di antara kesalahan yang sering terjadi,
membaca ayat secara nyaring di masjid sehingga mengganggu shalat dan
bacaan orang lain [49].
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ketahuilah,
kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling
mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam
membaca Alquran. Atau beliau berkata, “Dalam shalat” [50].
27. Larangan Berteriak Dan Membuat Gaduh di Masjid
Sebab, masjid dibangun bukan untuk ini. Demikian pula mengganggu dengan obrolan yang keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah
bahwa setiap kalian sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabbnya.
Maka dari itu, janganlah sebagian kalian menyakiti yang lain dan
janganlah mengeraskan bacaan atas yang lain”[51].
Apabila mengeraskan bacaan Alquran saja dilarang jika memang
mengganggu orang lain yang sedang melakukan ibadah, lantas bagaimana
kiranya jika mengganggu dengan suara-suara gaduh yang tidak bermanfaat?!
Sungguh, di antara fenomena yang menyedihkan, sebagian orang—terutama
anak-anak muda—tidak merasa salah membuat kegaduhan di masjid saat
shalat berjamaah sedang berlangsung. Mereka asyik dengan obrolan yang
tiada manfaatnya. Terkadang mereka sengaja menunggu imam rukuk, lalu
lari tergopoh-gopoh dengan suara gaduh untuk mendapatkan rukuk bersama
imam. Untuk yang seperti ini kita masih meragukan sahnya rakaat shalat
tersebut karena mereka tidak membaca Al-Fatihah dalam keadaan sebenarnya
mereka mampu.
Tetapi, mereka meninggalkannya dan justru mengganggu
saudara-saudaranya yang sedang shalat. Hal ini berbeda dengan kondisi
sahabat Abu Bakrah radhiallahu’anhu yang ketika datang untuk shalat bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didapatkannya beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sedang rukuk lalu ia ikut rukuk bersamanya dan itu dianggap rakaat shalat yang sah.
28. Larangan Lewat di Dalam Masjid Dengan Membawa Senjata Tajam
Janganlah seseorang lewat masjid dengan membawa senjata tajam,
seperti pisau, pedang, dan sebagainya ketika melewati masjid. Sebab hal
itu dapat mengganggu seorang muslim bahkan bisa melukai seorang muslim.
Terkecuali jika ia menutup mata pedang dengan tangannya atau dengan
sesuatu.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Apabila
salah seorang di antara kalian lewat di dalam masjid atau pasar kami
dengan membawa lembing, maka hendaklah ia memegang mata lembing itu
dengan tangannya sehingga ia tidak melukai orang muslim”[52].
29. Larangan Lewat di Depan Orang Shalat
Harap diperhatikan ketika kita berjalan di dalam masjid, jangan
sampai melewati di depan orang yang sedang shalat. Hendaklah orang yang
lewat di depan orang yang shalat takut akan dosa yang diperbuatnya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ
يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ،
خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat
mengetahui (dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti
selama 40 (tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang
yang sedang shalat”[53].
Yang terlarang adalah lewat di depan orang yang shalat sendirian atau
di depan imam. Adapun jika lewat di depan makmum maka tidak mengapa.
Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu ketika beliau menginjak usia balig. Beliau pernah lewat di sela-sela shaf jamaah yang diimami oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan
menunggangi keledai betina, lalu turun melepaskan keledainya baru
kemudian beliau bergabung dalam shaf. Dan tidak ada seorang pun yang
mengingkari perbuatan tersebut. Namun demikian, sebaiknya memilih jalan
lain agar tidak lewat di depan shaf makmum[54].
30. Larangan melingkar di dalam masjid untuk berkumpul untuk kepentingan dunia
Terdapat larangan melingkar di dalam masjid (untuk berkumpul) demi kepentingan dunia semata. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ
يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا
وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ
“Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka
melingkar di dalam masjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai
kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi kepentingan apapun pada
mereka maka janganlah duduk bersama mereka” [55].
31. Larangan Keras Meludah Di Masjid
Masjid sebagai tempat yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala
di muka bumi ini harus kita jaga kebersihannya. Oleh karena itu,
dilarang meludah dan mengeluarkan dahak lalu membuangnya di dalam
masjid, kecuali meludah di sapu tangan atau pakaiannya. Adapun di lantai
masjid atau temboknya, hal ini dilarang. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah di masjid adalah suatu dosa, dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan menimbun ludah tersebut”[56].
Yang dimaksud menimbun ludah di sini adalah apabila lantai masjid itu
dari tanah, pasir, atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu
berupa semen atau kapur, maka ia meludah di kainnya, tangannya, atau
yang lain [57].
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,
“Janganlah salah seorang di antara kalian meludah ke arah kiblat, akan
tetapi hendaknyaa ke arah kirinya atau ke bawah kakinya”[58].
32. Keluar Masjid Dengan Mendahulukan Kaki Kiri Dan Membaca Doa
Apabila keluar masjid, hendaklah kita mendahulukan kaki kiri seraya berdoa. Dari Abu Humaid radhiallahu’anhu atau dari Abu Usaid radhiallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ
الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya
dia membaca, “Allahummaftahli abwaaba rahmatika” (Ya Allah, bukalah
pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar, hendaknya dia mengucapkan,
“Allahumma inni as-aluka min fadhlika (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu)”[59].
Demikianlah akhir yang Allah Ta’ala mudahkan kepada kami
untuk menulis tentang adab-adab di masjid. Semoga Allah menjadikan kita
hamba-Nya yang saleh dan selalu istiqamah di jalan-Nya. Amiin.
Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.
Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.
Catatan Kaki
[1] QS. AI-A’raf: 31.
[2] Al-Ikhtiyarot al-fiqhiyyah karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 4/24
[3] Tafsir Qur’an Adzhim karangan Imam Ibnu Katsir ( 2/195)
[4] HR. Bukhari no. 854 dan Muslim no. 1 564
[5] HR Bukhari dan Muslim dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil no.547
[6] HR. Bukhari no 615
[7] HR Bukhari no 635 dan Muslim no 437
[8] Sebagian dari artikel “Adab Shalat Berjamaah Di Masjid” dalam Muslim.or.id
[9] HR.Ibnu Majah no 4002 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih Ibni Majah no. 3233
[10] HR. Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2019
[11] HR. Tirmidzi no. 3426 dan Abu Dawud no. 5095. Dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2375 dan Syeikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 2443
[12] HR. Bukhari no. 6316 dan Muslim no. 763.
[13] HR. Bukhari no.537 dan Muslim no. 714
[14] “Adab ketika di masjid” oleh Bustomi,MA. dan “Adab Shalat Berjamaah Di Masjid” dalam Muslim.or.id
[15] QS. Al-Hajj 32
[16] AI-Mughni karangan Ibnu Qudamah رحمه االه jilid 2 halaman 119
[17] HR Bukhari no 176 Muslim no 649
[18] Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada hal 352-359
[19] HR Bukhari dan Muslim dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab shahih targhib wattarhib no.326
[20] HR Abu Dawud no 1119 dari Ibnu ‘Umar dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no.990
[21] Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada hal 352-359
[22] HR Abu Dawud dari Ibnu ‘Umar dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih Abi Dawud no.439
[23] HR Bukhari no442
[24] Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhari Jilid 1 halaman 694
[25] HR Bukhari no 475 dan Muslim no2100
[26] Fathul Ban Syarah Shohih al-Bukhari Jilid 1 halaman 729
[27] Musykilul Atsar jilid I halaman 294
[28] HR Bukhari no 386 dan Muslim no555
[29] Syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi jilid 5 halaman 207
[30] HR Ibnu Majah no 3311 dan dinilai shahih oleh Syeikh AI-Albani dalam Mukhtasor Syamail Muhammadiyyah no.139
[31] HR Bukhari no 5996 dan Muslim no.543
[32] ‘Umdatul Qori jilid 2 halaman 501 dan Ats-Tsamar al-Mustathob jilid 2 halaman 761
[33] Ats-Tsamar al-Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab karya Syeikh Al-Albani jilid 2 halaman 585
[34] Shahih Sunan at-Tirmidzi jilid 2 halaman 63—64 no1321
[35] “Adab Ketika Di Masjid” oleh Bustomi, MA.
[36] HR. al-Bukhari no 454
[37] Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada hal 352-359
[38] HR. Ath-Thabrani dalam al-Kaabir jilid IX halaman 9489 dari IbnuMas’ud dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami, no.5896
[39] Dinilai hasan oleh Syeikh al-Albani dalam kitab Sisilatus Shahihah jilid 3 halaman 135
[40] HR Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam Shohih Al-Jami no 5895
[41] HR Al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam an-Nawadzir dari Abu Darda’ sebgaimana terdapat dalam kitab Shahih al- Jami no585
[42] HR An-Nasa-I dalam kitab sunan-nya jilid II halaman 32, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, dan al-Baihaqi dalam al-Kubra dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu
[43] HR Abu Dawud no 862 dan al-Hakim (I/229) dan disetujui oleh adz-Dzahabi dari ‘Abdurrahman bin Syibl rahiallahu’anhu
[44] Kanzul ‘Ummal jilid VII halaman 458
[45] HR. Muslim no 655 dan dinilai shahih oleh Syeikh al-Albani dalam kitab shahih Ibni Maajah no599
[46] HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam at-Ta’liqot al-Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban, no.1649
[47] HR Tirmidzi no 1321, Hakim jilid 2 halaman 56, dan beliau berkata: Shahih menurut syarat Imam Muslim dan disetujuhi oleh Imam Adz-Zahabi Dan Syeikh Al-Albani menilai shahih dalam Al-Irwa 1295
[48] Subulus Salam jilid 1 halaman 321 Lihat pula An-Nail al-Author jilid 1 halaman 455 dan Ats-Tsamar al-Mustathob jliid 2 halaman 696
[49] al-Adzkar Imam an-Nawawi halaman 120
[50] HR Abu Daud no 1332 dan Ahmad no 430 dan dinilai shahih oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Nata-ijul Afkar jilid 2 halaman 16
[51] HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihal-Jami’
[52] HR Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih wa dho’if al-jami ashshoghir no.798
[53] HR Bukhari no 510 dan Muslim no1132
[54] HR Bukhari no 76 dan Muslim no504
[55] HR al-Hakim jilid 4 halaman 359 dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani
[56] Shahih al-Bukhari no40
[57] Lihat kitab Riyadhus Shalihin dalam bab “an-Nahyu ‘anil Bushaqfil Masjid”
Penulis: Afwan Awwab
Murajaah: Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.I
Artikel Muslim.Or.Id
[2] Al-Ikhtiyarot al-fiqhiyyah karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 4/24
[3] Tafsir Qur’an Adzhim karangan Imam Ibnu Katsir ( 2/195)
[4] HR. Bukhari no. 854 dan Muslim no. 1 564
[5] HR Bukhari dan Muslim dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil no.547
[6] HR. Bukhari no 615
[7] HR Bukhari no 635 dan Muslim no 437
[8] Sebagian dari artikel “Adab Shalat Berjamaah Di Masjid” dalam Muslim.or.id
[9] HR.Ibnu Majah no 4002 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih Ibni Majah no. 3233
[10] HR. Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2019
[11] HR. Tirmidzi no. 3426 dan Abu Dawud no. 5095. Dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2375 dan Syeikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 2443
[12] HR. Bukhari no. 6316 dan Muslim no. 763.
[13] HR. Bukhari no.537 dan Muslim no. 714
[14] “Adab ketika di masjid” oleh Bustomi,MA. dan “Adab Shalat Berjamaah Di Masjid” dalam Muslim.or.id
[15] QS. Al-Hajj 32
[16] AI-Mughni karangan Ibnu Qudamah رحمه االه jilid 2 halaman 119
[17] HR Bukhari no 176 Muslim no 649
[18] Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada hal 352-359
[19] HR Bukhari dan Muslim dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab shahih targhib wattarhib no.326
[20] HR Abu Dawud no 1119 dari Ibnu ‘Umar dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no.990
[21] Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada hal 352-359
[22] HR Abu Dawud dari Ibnu ‘Umar dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih Abi Dawud no.439
[23] HR Bukhari no442
[24] Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhari Jilid 1 halaman 694
[25] HR Bukhari no 475 dan Muslim no2100
[26] Fathul Ban Syarah Shohih al-Bukhari Jilid 1 halaman 729
[27] Musykilul Atsar jilid I halaman 294
[28] HR Bukhari no 386 dan Muslim no555
[29] Syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi jilid 5 halaman 207
[30] HR Ibnu Majah no 3311 dan dinilai shahih oleh Syeikh AI-Albani dalam Mukhtasor Syamail Muhammadiyyah no.139
[31] HR Bukhari no 5996 dan Muslim no.543
[32] ‘Umdatul Qori jilid 2 halaman 501 dan Ats-Tsamar al-Mustathob jilid 2 halaman 761
[33] Ats-Tsamar al-Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab karya Syeikh Al-Albani jilid 2 halaman 585
[34] Shahih Sunan at-Tirmidzi jilid 2 halaman 63—64 no1321
[35] “Adab Ketika Di Masjid” oleh Bustomi, MA.
[36] HR. al-Bukhari no 454
[37] Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada hal 352-359
[38] HR. Ath-Thabrani dalam al-Kaabir jilid IX halaman 9489 dari IbnuMas’ud dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami, no.5896
[39] Dinilai hasan oleh Syeikh al-Albani dalam kitab Sisilatus Shahihah jilid 3 halaman 135
[40] HR Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam Shohih Al-Jami no 5895
[41] HR Al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam an-Nawadzir dari Abu Darda’ sebgaimana terdapat dalam kitab Shahih al- Jami no585
[42] HR An-Nasa-I dalam kitab sunan-nya jilid II halaman 32, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, dan al-Baihaqi dalam al-Kubra dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu
[43] HR Abu Dawud no 862 dan al-Hakim (I/229) dan disetujui oleh adz-Dzahabi dari ‘Abdurrahman bin Syibl rahiallahu’anhu
[44] Kanzul ‘Ummal jilid VII halaman 458
[45] HR. Muslim no 655 dan dinilai shahih oleh Syeikh al-Albani dalam kitab shahih Ibni Maajah no599
[46] HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam at-Ta’liqot al-Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban, no.1649
[47] HR Tirmidzi no 1321, Hakim jilid 2 halaman 56, dan beliau berkata: Shahih menurut syarat Imam Muslim dan disetujuhi oleh Imam Adz-Zahabi Dan Syeikh Al-Albani menilai shahih dalam Al-Irwa 1295
[48] Subulus Salam jilid 1 halaman 321 Lihat pula An-Nail al-Author jilid 1 halaman 455 dan Ats-Tsamar al-Mustathob jliid 2 halaman 696
[49] al-Adzkar Imam an-Nawawi halaman 120
[50] HR Abu Daud no 1332 dan Ahmad no 430 dan dinilai shahih oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Nata-ijul Afkar jilid 2 halaman 16
[51] HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihal-Jami’
[52] HR Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih wa dho’if al-jami ashshoghir no.798
[53] HR Bukhari no 510 dan Muslim no1132
[54] HR Bukhari no 76 dan Muslim no504
[55] HR al-Hakim jilid 4 halaman 359 dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani
[56] Shahih al-Bukhari no40
[57] Lihat kitab Riyadhus Shalihin dalam bab “an-Nahyu ‘anil Bushaqfil Masjid”
Referensi
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Imam Ibnu Katsir
- Kitab-Kitab Karangan Syaikh Nashiruddin Al-Albani Seperti Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah, Irwaul Gholil, Shohih Targhib Wat Tarhib
- Fathul Baari Fi Syarhi Shohi Al-Bukhari Karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqolaani
- Syarah Shahih Muslim Karya Imam Nawawi
- Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada
- Ahkaam Al-Masaajid Fi Syari’ah Al-Islamiyyah, Ibrahim Bin Sholih Al-Hudhoiri
- Al-muslim wal masjid karya Ahmad Muslim Da’dus
- Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz karya Syaikh Dr. ‘Abdul ‘Adzim Badawi
- “Adab shalat berjamaah di masjid” situs muslim.or.id
- “Adab ketika di masjid” oleh Hepi Andi Bustoni, MA
- Hisnul Muslim min Adzkari Al-Kitabi was Sunnah, Syeikh Sa’id bin Ali Wahf Al-Qohthoni
Penulis: Afwan Awwab
Murajaah: Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.I
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai tulisan ini dengan meninggalkan jejak... ^_^