Writing Contest Juara 1
Penulis : Anggita Nurindah Kusuma
Asal : SMP N 10 Yogyakarta
KETIKA SENJA TIBA
Kategori : CERPEN
Dunia memang penuh dengan manusia-manusia yang tersenyum,
menangis, atau pun marah. Begitu pula yang kini hadir dalam bale wisma
sederhanaku. Senyum bahagia telah dimiliki kakak semata wayangku, Dewi. Sendu
tangis dimiliki oleh diriku ini. Dan amarah sedang dimiliki Ayah, seseorang
yang sangat membenciku.
Yah, hariku selalu saja begini. Disertai dengan amarah dari sang Ayah padaku. Banyak yang bertanya padaku, "mengapa kamu seperti ditelantarkan oleh Ayahmu?". Namun aku hanya terdiam. Sebab aku tak ingin membuat nama baik keluarga ini buruk. Dan sebenarnya, semua itu karena aku adalah seorang anak pembawa sial bagi Ayah. Alasannya, dulu Ibuku meninggal seketika selesai melahirkan tubuh mungil tanpa dosa ini, aku. Semenjak itulah hidupku tak tahu harus dibawa ke mana. Begini salah, begitu salah. Semua yang kulakukan serba salah di matanya. Hingga aku pun tak tahu harus bertingkah apa. Aku takut amarah Ayah kembali hadir padaku.
"Ita.." suara lantang yang tak asing lagi. Terpaksa aku meninggalkan suasana hening dalam kamar sederhana ini. Mencegah adanya kemarahan.
"Iya, Yah..
Sebentar.." bergegas aku melantunkan nada langkah kaki. Sekejap Ayah
memasang raut muka tak menyenangkan.
"Kamu ini
bagaimana sih? Sudah Ayah bilang, waktu Ayah dan kakakmu pergi jalan-jalan,
kamulah yang bertugas membersihkan rumah. Tapi kenapa masih berantakan seperti
ini? Kamu tidak berniat membereskan rumah? Kamu tidak ikhlas?"
omelan-omelan pedih kini menusuk hati tanpa dosa milikku. Kupikir, tak akan ada
kebahagiaan dalam keluarga kami. Terutama dalam kehidupanku.
"Ma.. Maaf,
Yah.." tertegun melihat keadaan membuatku menitikkan air mata kesedihan.
Bahkan sulit untuk mengucapkan kata maaf padanya.
"Bilang maaf gampang," sebenarnya ingin aku mengelak ha itu. Karena sungguh kesulitan mulut ini mengeluarkan kata maaf. Namun aku harus rela menerima semua. Aku pun meninggalkan tempat itu tanpa menghiraukan panggilan sekaligus hinaan dari Ayah.
***
Kuberpinjak di antara hijaunya belantaran. Dan tepat di seberang sana. Aku melihat sosok gadis mungil nan cantik. Mengenakan kerudung berwarna merah muda. Dan sepertinya belum pernah terlihat di sekitaran taman. Kudekati arah dia terdiam dengan hentakan langkah kaki.
"Hai,
dik," mencoba memasang senyum manis meski tak sebenar dalam hati ini. Dia
hanya mengeluarkan senyuman. Tak kembali membalas sapaku. Aku semakin merasa
penasaran, seketika ia justru menjauh dariku dan berjalan meninggalkan taman.
"Ita.."
kembali panggilan buruk itu terdengar. Bulu kudukku merinding. Bukan karena
takut akan datangnya sosok makhluk halus. Tetapi aku takut, datangnya siksaan
ganas dari Ayah.
"Iya,
Yah.."
"Cepat
pulang ke rumah. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kamu kerjakan! Tugasmu
itu membersihkan rumah! Bukan keluyuran tak jelas begini!" telinga ini
memerah, mendapat kasarnya helaian. Dari sebelah sana aku melihat gadis mungil
tadi. Dia memperhatikanku dengan mata berkaca-kaca. Mungkin iba yang telah ia
rasakan setelah melihat keadaanku, sama seperti orang lain. Hanya air mata duka
yang selalu mengalir padaku. Entah, aku masih belum mengerti apa yang harus
kulakukan. Jika berdo'a. Pada siapa aku berdo'a? Sebab aku tak memiliki Tuhan,
aku tak percaya tentang ajaran agama. Itulah yang kudapat dari keluarga tanpa
keharmonisan ini.
***
Hari telah berganti. Aku mencoba menemuinya lagi, gadis
cilik yang kuanggap misterius. Dan memang, dia terduduk di bawah pepohonan
kokoh.
Dalam hitungan
detik, ia sudah menyodorkan surat yang berisi,
Untukmu kakak
cantik,
Aku paham akan kehidupanmu. Meskipun tak seluruhnya
kuketahui. Yang terpenting, aku hanya ingin memberikan saran untukmu.
Berdo'alah pada Tuhan. Karena Tuhan pasti akan mengabulkan do'a hambaNya yang
takwa.
"Maaf, dik,
aku tak memiliki Tuhan. Tak ada satu pun ajaran agama yang tertangkap dalam
otakku," dia hanya terdiam dan mulai menuliskan rangkaian kata kembali.
Mengapa begitu,
kak? Percayalah adanya Tuhan. Maka kelak kehidupan kakak akan menjadi ebih baik
dibanding saat-saat ini. Pelajarilah ajaran tentang agama. Aku yakin, ilmu-ilmu
itu tak akan sia-sia, sebab akan kakak butuhkan untuk menolong keadaan keluarga
kakak. Aku yakin, bahkan sangat yakin.
Oh ya, sekarang
tugas kakak adalah memejamkan mata dan berkata, "Hari ini, detik ini, aku
akan mencoba mempelajari ajaran agama. Dan aku akan mencoba mempercayai adanya
Tuhan. Aku berharap, apa yang aku inginkan terkabul." Jangan lupa, kak,
tambahkan juga keinginan kakak ke dalam kalimat tadi. Jika kakak ingin do'anya
bisa terkabul, sholatlah setiap hari selama lima waktu. Setiap sehabis sholat,
kakak ucapkan keinginan tadi.
"Baiklah,
akan aku coba. Tapi kamu berjanji mau mengajari kakak ya," ia hanya
mengganguk.
Sebelumnya
ucapkan dua kalimat syahadat. Begini bunyinya, "Asyhadu Allailahaillallah,
Wa Asyhadu Annamuhammadarrasulullah"..
Lekas aku membaca ayat suci Al-Qur'an tadi. Memang sulit mengucapkan kata-katanya. Rasanya,
lidahku kelu. Tetapi aku tetap berusaha mencobanya sampai bisa. Kemudian aku memejamkan
mata, "Hari ini, detik ini, aku akan mencoba mempelajari ajaran agama. Dan
aku akan mencoba mempercayai adanya Tuhan. Aku ingin keluargaku menjadi
harmonis. Tanpa ada perbedaan kasih seperti yang telah kualami selama ini. Aku
berharap, apa yang aku inginkan terkabul," entah apa yang telah terjadi,
hati ini menjadi terasa lega tanpa beban. Apa mungkin Tuhan memang ada? Ah, aku
hanya butuh kebuktiannya saja.
***
Sudah satu bulan aku mencoba saran dari gadis cilik. Dan
sama saja hasilnya. Tak ada perubahan dalam keluargaku. Aku langsung bertemu
dengannya di perjalanan menuju taman.
"Dik,
mengapa do'aku tak kunjung terkabul? Bukankah katamu, Tuhan ada dan bisa
mengabulkan do'a hambaNya?" sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Sekali berbicara, dua pertanyaan kuucapkan.
Kak, Tuhan hanya
mengabulkan do'a-do'a hambaNya yang sabar. Semua butuh proses.
Aku mengganggukkan kepala dan mencoba bersabar.
Waktu lewat satu minggu kembali. Artinya, sudah dua
minggu aku berdo'a padaNya yang dianggap Tuhan. Tetapi aku tetap tak akan
mengakui adanya Tuhan. Karena semua yang telah aku lakukan sia-sia. Semua
harapanku sirna sudah.
"Aaaaa..." aku berteriak penuh kelantangan dan emosi setelah
berdiri di antara bunga-bunga cantik. Air mataku pun terjatuh membasahi pipi.
"Tak ada
Tuhan di sini. Aku tak percaya pada Tuhan! Tuhan tak pernah mau mengabulkan
do'aku. Mengapa?" kali ini teriakkanku benar-benar sangat keras. Sekeras
batu yang sangat besar. Tangan putih menyodorkan sepucuk kertas.
"Sudah, dik,
aku tak membutuhkan saran-saranmu lagi. Aku kini akan yakin pada pendirianku.
Aku, tak percaya Tuhan," untaian kata itulah yang kuucap seketika melihat
adik manis berkerudung di belakang. Namun dia tetap memaksa. Akhirnya kuambil
kertas itu,
Kak, Tuhan memang
tak ada di sini. Tuhan memang tak ada di muka bumi ini. Tetapi Tuhan ada di
hati kita. Percayalah, kak, padaku.
"Tidak.
Maaf, dik, untuk kali ini aku belum percaya Tuhan. Karena hidupku terlalu
sengsara. Dan Tuhan telah berpilih kasih," seketika dia menulis kembali.
Apa kakak tahu
mengapa aku selalu mengobrol menggunakan secarik kertas dan sebuah pena? Karena
aku tunawicara. Sebab itulah aku tersingkirkan dari keluargaku. Aku tersingkir
dari lingkaran keharmonisan keluargaku. Apakah Tuhan pilih kasih? Tidak. Dia
hanya memberikan cobaan berat untuk kita. Dan Dia akan menguji kita, seberapa
besar kesabaran hati ini dalam menerima ujian dariNya. Percayalah, kak.
Aku mengangguk pelan. Sesaat itu juga, seorang wanita
berpakaian modern datang,
"Kamu ini
bagaimana sih, sudah dibilang jangan pergi-pergi, tetap saja nekat. Kamu ini
memalukan keluarga ibu, mengerti? Pokoknya kamu harus dihukum,"
cubitan-cubitan mengerikan diberikan ibunya kepada gadis tadi. Dia pun hanya
menahan ucapan yang ingin dia ucapkan. Karena kutahu, pasti setiap dia
menuliskan sesuatu, ibunya tak pernah mau membacanya. Sedangkan jika berbicara
langsung. Dia tak bisa. Sehingga hanya tangis yang bercucuran keluar dari mata
indahnya.
"Tunggu!" ibunya tak menghiraukan aku pun langsung berteriak
lantang, "Siapa yang mau memiliki ketidak sempurnaan. Jangan pernah
salahkan gadis itu! Karena sebenarnya dia juga tak ingin seperti ini!" tak
kuduga teriakan ini muncul dalam hitungan detik. Tanpa berpikir terlebih
dahulu.
"Kamu tidak
tahu apa-apa, jadi tidak perlu ikut campur masalah kami!"
"Aku tahu!
Dia adalah gadis tunawicara yang dalam batinnya tidak ingin memiliki kekurangan
ini. Dia juga tidak ingin membuat keluarganya malu. Dia tidak ingin
mengecewakan ibunya. Dia tidak ingin mendapat siksaan dari keluarganya. Tetapi
setiap dia ingin mengungkapkan perasaannya melalui kertas, anda selalu saja tak
mau membacanya terlebih dahulu."
"Andai ibu
yang tunawicara, apakah ibu tidak akan tersiksa seperti kehidupannya yang
tersingkir dari keluarga? Bayangkan jika ibu yang tunawicara hingga selalu
dihina oleh anak-anak ibu, apakah ibu mau?" emosi yang kian menerjang
hatiku telah kuungkap. Ibu itu terdiam, menghentikan langkahnya yang semula
sangat cepat. Aku melanjutkan kembali, "Bu, semua anak tentu tidak ingin
mengecewakan orang tuanya. Tapi apa daya jika takdir memutuskan anak untuk
menderita kekurangan atau pun kesalahan yang maha dahsyat? Tolong, jangan
pernah ibu salahkan anak ibu yang telah ditakdirkan berbeda dengan anak
lainnya. Setiap anak tak mau memiliki kekurangan seperti itu. Setiap anak
membutuhkan kasih sayang, hingga kelak ia tumbuh menjadi dewasa," dengan
perlahan aku mengucap, penuh kesedihan, tetesan air mata yang jatuh sebab
membayangkan kehidupanku dalam keluarga. Mendadak datang pelukan dari belakang.
Aku menoleh,
"Ayah?"
aku memeluknya kembali dengan sangat erat. Tak kusangka, Ayah mengetahui
perasaanku melalui peristiwa tadi. Bahkan, ketika aku melihat ka arah tadi,,
gadis berkerudung itu pun sedang dipeluk ibunya dengan penuh keharmonisan.
Sungguh tak menyangka akan seperti ini jadinya.
Oh, Tuhan, kini aku percaya adanya Engkau. Memang Kau tak
ada di muka bumi. Tetapi Kau selalu ada di hati setiap makhlukMu. Dan benar
pula kata gadis tadi, bahwa Tuhan hanya mengabulkan keinginan seseorang yang
sabar. Sebab semua membutuhkan proses. Aku percaya Tuhan! Aku percaya agama!
Aku berjanji, setelah ini, aku akan mengajak Ayah dan kakakku untuk memeluk
agama terindah yang pernah kuketahui, Islam.
Pelukan hangat antara dua keluarga telah hadir, tersaji
dan mengindahkan suasana senja. Menghiasi taman bunga yang sebelumnya sudah
indah. Peristiwa ini tak akan pernah kuhilangkan dalam memori ingatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai tulisan ini dengan meninggalkan jejak... ^_^