Suatu hari, saya melihat seorang bocah pelajar kelas 3 SD terpaku di depan pesawat televisi. Tiba-tiba ia berdiri, lalu mengikuti irama lagu: “Kau hancurkan hatiku, hancurkan hatiku … lagi”. Saya lupa, itu lagu judulnya apa dan siapa yang mendendangkannya – kata orang, dari Peterpan, sekarang sudah jadi Noah. Saya tak merasa rugi karena tak hapal lagu itu, sebab liriknya memang tak membangkitkan semangat hidup kita.Yang menarik perhatian saya adalah kenyataan bocah berusia sekitar 9 tahun telah mengikuti selera orang yang bisa dibilang “dewasa”. Mungkin itu hanya penyesuaian perilaku yang bersifat auditif (pengaruh suara dan pendengaran) saja. Namun, sebenarnya dari syair lambat laun akan mempengaruhi psikologi anak. Mereka akan menghayal-hayalkan tentang syair yang sebenarnya tidak pantas diperdengarkan untuk kalangan anak-anak.
Karena itu, hati-hati jika kamu mendengar suatu lagu atau
syair, lalu mencoba menghapalnya dan mengulang-ulangnya di waktu senggang, maka lirik dan syair itu bisa menjadi wirid kamu. Artinya, baik-buruk
amal kamu akhirnya ditentukan oleh kebiasaan yang kamu lakukan setiap hari,
setiap jam, setiap detiknya. Jangan pandang remeh kebiasaan sekecil apapun,
sebab dapat menggiring kamu kepada amal shalih (kebaikan) atau amal thalih
(keburukan).
Pada contoh awal, lagu yang membuat hati patah dan hancur
(broken heart) itu, misalnya, seorang anak telah diseret ke arah pemahaman yang
keliru tentang “cinta”. Terus terang, saya tak pandai, bahkan tak mendalami
khusus ilmu cinta, namun saya menjalaninya sebagai manusia normal dengan segala
rahasia dan hikmahnya. Jadi, pengetahuan saya tentang cinta berdasarkan
pengalaman hidup nyata, bukan cuma khayalan kosong yang memabukkan.
Dalam pandangan hidup ala Peterpan atau segala tipe Boy Band
lainnya, cinta tampil dalam wujud romantisme yang sering mengombang-ambingkan
jiwa manusia dalam melankoli. Jiwa manusia seperti ramalan cuaca, kadang
mendung dan hujan (sedih-menangis), kadang pula cerah dan bersinar
(gembira-tertawa). Romantisme cinta membuat jiwa seseorang, apalagi mereka yang
baru memasuki fase pubertas pertama (aqil baligh), naik-turun persis bak
fluktuasi mata uang rupiah dalam transaksi moneter.
Tak ada yang salah dengan aspek romantisme cinta. Itulah
yang membedakan kamu dengan monyet (hewan) atau malaikat (makhluk suci). Monyet
dan semua spesies hewan tak perlu romantisme, karena hubungan antar mereka
berlangsung secara naluriah. Ada insting yang Allah Mahakuasa ilhamkan ke dalam
diri mereka untuk bertahan hidup dan mengembangbiakkan keturunan. Walaupun
suatu kali mungkin kamu akan terkejut memergoki, seekor anak monyet terlihat
gundah dan meneteskan air mata, manakala kehilangan akibat kematian induknya.
Air mata itu sangat tulus sebagai gambaran dari cinta sang monyet. Jadi bukan
seperti air mata buaya yang kata orang hanya tipuan belaka.
Apa kamu pernah diserang “cinta monyet”? Wajar saja, jangan
takut, tapi juga jangan tertipu. Pahamilah dimensi cinta yang lain berupa
idealisme, yakni orang yang mencintai dirinya atau orang lain demi
memperjuangkan cita-cita yang luhur. Kita mencintai diri sendiri artinya
mensyukuri segala karunia yang Allah berikan berupa jasad, akal dan perasaan
yang ada. Kita tidak membenci dan merusak diri kita sendiri hanya karena rambut
kribo atau jabrik, padahal iklan di teve selalu menampilkan gadis manis dan
pemuda ganteng dengan rambut panjang dan lurus. Kita juga tidak membenci dan
merusak kulit kita yang rada hitam dan sawo matang, hanya karena ingin putih
bersinar.
Bagi kita, jasad dan jiwa yang sehat lebih penting
dikembangkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Kamu punya misi hidup
yang lebih besar ketimbang mempercantik diri sendiri. Begitu pula, kamu mungkin
mencintai orangtua, saudara, dan kawan-kawan dalam konteks lebih luas. Bukan
sekadar mereka dekat secara fisik dengan kamu, apalagi selalu mengikuti gaya
hidup kamu. Bukan itu. Tapi, karena kita punya misi hidup bersama.
Coba tanya orangtua kamu, mengapa dulu mereka begitu
merindukan kelahiranmu dan membesarkanmu dengan penuh kasih sayang? Pasti
jawabnya, karena mereka menginginkan kamu menjadi manusia yang bermanfaat.
“Khairukum anfaukum linnas (yang terbaik di antara kalian adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia),” kata Nabi Saw. Orangtua kamu punya cita-cita yang
dititipkannya kepada kamu, walaupun mereka tidak akan memaksa kamu untuk jadi
apapun. Itulah cinta berdimensi idealisme yang membuat umat ini bertahan di
tengah kepungan ideologi sekulerisme, materialisme, dan pandangan hidup lain.
Kamu ingat potongan nasyid yang disenandungkan Brothers, “Ke
mana-mana aku mencari/ teman yang sejati/ tuk menemani/ perjalanan hidup ini
…”? Teman sejati tak selalu berarti seorang pacar. Kamu perlu teman dalam belajar
kelompok untuk menyelesaikan pe-er yang sulit, kamu perlu teman diskusi dalam
berorganisasi, kamu juga perlu partner kerja suatu saat nanti dalam meniti
sukses karir dan profesi.
Cinta romantis membuat hatimu patah, sedang cinta idealis
membuat jiwamu berkobar-kobar untuk menggapai cita-cita.
Karena itu, hati-hati jika kamu mendengar suatu lagu atau syair, lalu mencoba menghapalnya dan mengulang-ulangnya di waktu senggang, maka lirik dan syair itu bisa menjadi wirid kamu. Artinya, baik-buruk amal kamu akhirnya ditentukan oleh kebiasaan yang kamu lakukan setiap hari, setiap jam, setiap detiknya. Jangan pandang remeh kebiasaan sekecil apapun, sebab dapat menggiring kamu kepada amal shalih (kebaikan) atau amal thalih (keburukan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hargai tulisan ini dengan meninggalkan jejak... ^_^